Hujan membuatku singgah sejenak di sebuah restoran ayam goreng di pusat kota malam ini, membuatku menunda sesaat pertemuan dengan salah satu klien yang meminta presentasi aplikasi di kantornya. Usai memarkir motor, aku bergegas masuk ke dalam restoran mengingat hujan yang turun semakin deras dan mulai membasahi pakaian yang kupakai. Di dalam restoran ini ternyata cukup ramai pelanggan sedang menikmati hidangan restoran sembari berbincang santai dengan temannya masing masing, mungkin juga sedang menunggu hujan reda. Aku naik ke lantai dua dan mencari tempat duduk di balkon setelah memesan segelas Krus*er dan seporsi ayam goreng supaya dapat melihat keramaian jalanan yang diguyur hujan deras.
Berada di tempat ini, membuatku mengingat sebuah kenangan delapan tahun yang lalu. Kala itu, tempat ini masih berupa sebuah area lapangan rumput hijau sebesar lapangan bola dan dikelilingi oleh dinding seng yang cukup tinggi supaya tidak terlihat dari jalan raya yang berada persis di sebelah tempat ini. Masih aku mengingatnya. Di saat cuaca mendung sore itu, aku jemput Lian di gang dekat rumah orang tuanya menggunakan motor supra butut, mengajaknya menikmati pentas seni yang SMA kami adakan di tempat ini.
…………..
Oh, Alice mengapa kau kembali
Disaat aku terlanjur berjanji
Merubah hidupku, dan setiap adanya
Pada cinta yang bisa kupegang dihidupku– Apples in the Wonderland ~ Elise –
…………..
Terdengar alunan musik salah satu band indie yang cukup terkenal di panggung malam kala itu. Para penonton yang rata rata adalah teman teman SMA sudah memadati hampir setengah lapangan. Baris depan berdiri, dengan asyiknya berjoget ria mengikuti irama lagu. Sebagian lagi, terutama yang berada di baris belakang, duduk menikmati lagu sembari berbincang dengan teman temannya. Terlihat pula, panitia yang berseragam hitam putih mondar mandir mengatur acara supaya berjalan sesuai jadwal. Aku duduk bersila di baris penonton paling belakang dimana teman teman satu kelas berkumpul. Lian duduk di sampingku menikmati setiap performa musik yang ditampilkan. Sesekali kami berbincang tentang hal ringan, meskipun diam lebih mendominasi obrolan kami berdua. Entah mengapa aku gugup berada di dekatnya saat itu, tidak seperti biasanya.
Kuteguk sedikit Krus*er sembari mengingat kembali apa saja yang terjadi di tempat ini delapan tahun yang lalu. Di luar, hujan masih turun dengan derasnya. Aku whatsapp klien memberi kabar kalau akan datang terlambat karena hujan dan kembali jemariku menari di layar smartphone untuk menuliskan kisah ini.
Canggungku kala itu karena ada hal yang ingin kusampaikan padanya, yang sudah mengganjal di otak dalam beberapa minggu. Sebuah pertanyaan yang membuatku semakin tidak mengerti bagaimana harus bersikap setiap kali aku berinteraksi dengannya. Kuhentikan sejenak menuliskan kisah ini untuk menyantap ayam goreng yang sudah membuat lidah ini meneteskan liur sembari memandang kemacetan di jalan utama kota pahlawan ini.
Hujan berangsur reda dan menyisakan gerimis. Dari balkon ini mulai terlihat kerumunan manusia berlalu lalang menghampiri mall yang berada tepat di seberang restoran ini. Beberapa masih memakai payung, sisanya cuek meskipun badan diterjang gerimis. Aku buka catatan lama yang sudah kupindahkan semua ke dalam smartphone, membaca kembali catatan yang kutulis delapan tahun yang lalu sebagai pengingat hal apa saja yang pernah terjadi.
Samar samar teringat suaranya yang merdu dan tegas saat membacakan puisi di atas panggung. Usai tampil, ia turun dari panggung dan kembali duduk di sampingku. “Gimana ndi performku tadi?”, tanyanya. “Sip, menjiwai banget”, balasku. Lian tertawa dan kembali terdiam. Kala itu ada sedikit keraguan untuk menyampaikan padanya apa yang mengganjal di pikiranku. Beberapa bulan mengenal dan dekat sejak ia mengalami kecelakaan membuatku jatuh cinta padanya. Kucoba untuk memberanikan diri menyatakan perasaan, tetapi mulut terasa berat untuk mengucapkan. Hingga pada akhirnya,
“Lian, aku sayang sama kamu”
Akhirnya aku ucapkan kalimat itu padanya di tengah kerumunan penonton. Aku ucapkan secara pelan sehingga penonton lain yang berada di sekitar kami berdua tidak mendengar apa yang sedang kami bicarakan. Jantungku berdebar semakin kencang meneruskan kalimat selanjutnya tentang apa yang aku harapkan dari dia. Aku lirik dia yang masih berada di samping kananku. Ekspresi wajahnya jelas terlihat berubah seperti mengerti arah pembicaraanku. Aku coba untuk membuka mulut dan melanjutkan kalimatku memintanya untuk menjadi kekasihku. “Apa kamu mau………….”,
.
.
.
.
“…..Maaf, mungkin hanya sebatas sahabat Ndi”, potongnya sebelum aku selesaikan kalimatku. “Kamu tau sendiri kalau aku sedang menunggu seseorang”, imbuhnya. Entah mengapa ada sedikit kecewa kurasakan saat mendengar kalimat penolakan darinya. Sementara itu, band penutup acara malam ini sudah siap di atas panggung. Para penonton menyambut antusias dan berdiri sambil menggoyangkan tangan ke atas. Lagu band ini pun, pas dengan suasana hatiku yang sedang mendung.
Satu hal yang paling kusuka dari dirimu
Adalah ketika ku pandang ke dua bola matamu
Tak bosan tak jemu-jemu dan ku pandang selalu
Di saat engkau dekat atau jauhSayang seribu sayang kau ada yang punya
Ku selalu bermimpi tuk bisa memilikimu– Shaggy Dog ~ Hey Cantik –
Tanpa sadar, aku mulai meneteskan air mata di sampingnya. Untungnya, gerimis dapat menyamarkan apa yang terjadi dari ratusan penonton yang hadir saat itu.
Di balkon ini aku tersenyum mengenang kembali masa itu. Sampai kini bahkan perasaan itu masih kujaga dan tumbuh dengan rindangnya. Tempat ini telah menjadi saksi bisu awal perjalanan kami selama ini. Kuhabiskan Krus*er dan berberes untuk melanjutkan perjalanan menemui client karena hujan, sudah benar benar reda.