loader image

Remah Remah yang Tersisa

By.

min read

Share

Siang ini, aku menepati janji bertemu dengan seorang teman, mahasiswi satu tingkat dibawahku, membahas tentang pengkaderan yang sudah di luar batas kewajaran. Seperti biasa, kantin kampus menjadi tempat favorit untuk pertemuan semacam ini. Aku memilih duduk di salah satu sudut yang memiliki colokan listrik supaya dapat ngecharge handphone yang dari pagi ngedrop sembari menunggu lawan bicaraku datang. Cukup sepi kantin siang ini, mungkin karena hari ini masih termasuk ke dalam minggu tenang menjelang ujian akhir semester sehingga banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu di lab menyelesaikan proyek proyek penelitian. Hanya terdapat segelintir mahasiswa disini, itu pun mereka sibuk dengan laptopnya masing masing.

Tak begitu lama menunggu, terdengar suara wanita yang aku tunggu kedatangannya setengah berteriak memanggil namaku dari ujung kantin dengan suaranya yang khas. “Sini Rin”. Wanita dengan rambut sebahu, berkacamata, berkulit bersih, dan berparas cantik yang telah aku kenal sejak dua semester yang lalu itu bernama Rina. Ia merupakan mahasiswi satu tingkat di bawahku yang sedang menjalani prosesi pengkaderan di kampus ini dan belakangan ini memang sedang dekat denganku seringkali meminta nasihat menjalani kehidupan di kampus. Aku perhatikan, ia masih mengenakan tas punggung dan membawa map yang didekap di dadanya. Sepertinya, dia baru keluar dari ruang kelas. Ia berjalan menghampiriku melewati segelintir mahasiswa yang baru aku sadari ternyata pandangannya sudah berpindah melirik Rina. Terang saja, mata lelaki mana yang tidak tertarik dengan paras cantik seperti dia. Bahkan sempat sempatnya pula dia menyapa salah satu mahasiswa itu saat Rina tahu kalau ia sedang dilirik sampai yang meliriknya jadi salah tingkah. Aku menahan tawa memperhatikan kelakuannya. Memang begitulah dia ketika sifat usilnya datang. Ia menyapaku dengan ramah. “Sudah lama mas nunggunya?”. “Ah ngga, baru aja sampai kok”, balasku. Ditaruhnya map yang dibawa sedari tadi di meja dan diletakkannya tas punggung yang dibawanya di samping kursi. Kusodorkan padanya air minum botol yang memang sudah kubeli sebelum duduk disini. “Nih, minum dulu, biar ngobrolnya enak nanti”. “Wih, makasih mas”. Kami membahas banyak sekali hal tentang pengkaderan yang dilakukan di kampus. Banyak sekali keluhan yang ia sampaikan siang ini. Dengan raut wajah yang ditekuk, ia menceritakan satu persatu keluhannya selama mengikuti prosesi pengkaderan yang menurutnya sudah diluar batas dan tidak mengenal waktu. Nasihat demi nasihat dengan sabar aku berikan untuk tetap menjaga semangatnya mengikuti segala proses pengkaderan di kampus ini sembari aku mencatat hal apa saja yang perlu dibenahi untuk disampaikan ke panitia pengurus pengkaderan. Memang sudah tugasku memberikan semangat pada mereka, apalagi aku termasuk di dalam panitia pendamping yang tugasnya memang menampung curhatan mahasiswa peserta pengkaderan. Sepertinya nasihat yang aku berikan cukup membuatnya semangat kembali. Raut mukanya pun sudah kembali ceria.

Aku alihkan perhatianku sejenak dari Rina untuk menjawab sms yang masuk di handphone yang ternyata pengumuman dari komting kelas tentang perubahan jadwal perkuliahan minggu depan. “Ok. Trims”. Dan kuletakkan kembali di meja handphone ini untuk melanjutkan obrolan dengan Rina. “Eh, ada yang aneh kah sama mukaku?”, pertanyaan itu seketika keluar saat aku lihat dia sedang memandangku dengan tatapan yang dalam. “Ngga ada kok mas”. “Lantas kenapa mandangin aku kayak gitu”. Dia tidak menjawab, malah kembali memandangku dengan dalam. Kemudian, dengan lirih ia berkata,

“Aku sayang kamu, mas”.

Seketika pembicaraan politik kampus yang serius berubah menjadi pembahasan masalah hati. Cukup kaget aku dengan pembahasan yang tiba tiba berbelok ke arah ini. Aku memilih diam untuk merangkai kata. “Kenapa diem, mas gimana sama aku?”. Entah apa yang harus kukatakan padanya. Tak mungkin aku berbohong dengan membalas perasaannya sementara mata dan hati ini sama sekali belum dapat berpaling ke wanita lain. Dalam diam, aku berharap apa yang dia katakan siang ini hanyalah salah satu joke yang biasa ia ucapkan pada lawan bicaranya. Kucoba untuk menatap matanya yang sekarang sedang menatapku dengan tajam, menanti jawab dariku. Tak ada sedikitpun ketidakseriusan dari sorot matanya ini. “Ah, apa coba yang harus kukatakan”, batinku. Apa yang harus kukatakan agar tidak sekali lagi menyakiti perasaan seorang teman seperti yang aku lakukan pada temanku yang lain.

Sudah kesekian kali, kebaikan yang aku tunjukkan pada teman wanita di kampus disalah artikan seperti ini. Ayolah, aku sama sekali tidak ada niat lebih dari sekedar teman saat ini, apa pula yang kalian lihat dari aku. Apa yang aku tunjukkan selama ini hanyalah sebatas tuntutan dari tugasku sebagai pendamping kalian. Tak ada sedikitpun menyangkut masalah hati. Jangan lah sampai dosaku bertambah dengan menyakiti perasaan Anda. Karena aku sendiri juga paham bagaimana sakitnya sebuah perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Aku tarik nafas dalam dalam, kemudian aku hembuskan. “Maaf, aku tak bisa membalas perasaan itu. Sudah ada seseorang yang menempati ruang itu”. Kutatap matanya dalam dalam, terlihat air mata mulai menggenangi permukaan matanya. Mungkin sudah tak dapat dibendung lagi, air mata itu menetes di kedua pipinya hingga akhirnya jatuh membasahi buku yang ia letakkan persis di meja sejajar dengan wajahnya. Ia berusaha untuk menutup wajah dengan kedua tangannya berusaha menyembunyikan tangis di hadapku. Kemudian, ia menutup bukunya, merapikan kertas kertas di atas meja ke dalam tas miliknya dan pamit tanpa sepatah kata pun dari hadapanku. Bagus, dosaku bertambah hari ini!

Share