loader image
Dari Tambak Tradisional Menuju Tambak Cerdas: Kisah Paundra Noorbaskoro dan Revolusi Udang Vaname di Pacitan

Dari Tambak Tradisional Menuju Tambak Cerdas: Kisah Paundra Noorbaskoro dan Revolusi Udang Vaname di Pacitan

Pendahuluan: Potensi Besar dari Laut yang Sunyi

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil udang terbesar di dunia.
Namun di balik angka ekspor yang menjanjikan, ada kenyataan yang tidak selalu terdengar: para petambak udang kecil masih berjuang keras melawan alam, penyakit, dan ketidakpastian.

Di pesisir selatan Jawa Timur—termasuk Pacitan—ribuan tambak udang vaname bergantung pada metode tradisional.
Air dicek “menurut pengalaman”, suhu dirasa dengan tangan, dan aerator dinyalakan “kalau udang kelihatan lemas”.
Sementara di sisi lain, penyakit seperti White Spot dan Early Mortality Syndrome (EMS) dapat memusnahkan hasil panen dalam hitungan hari.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi udang nasional memang meningkat dari sekitar 520 ribu ton pada 2017 menjadi lebih dari 900 ribu ton pada 2023, namun sebagian besar lonjakan ini datang dari pemain besar yang menggunakan teknologi modern.
Petambak tradisional masih tertinggal, terutama dalam hal data, efisiensi, dan akses informasi.

Krisis di Balik Tambak: Ketika Alam Tak Lagi Dapat Ditebak

Budidaya udang vaname tradisional memiliki tantangan khas:

  1. Tidak ada data real-time.
    Sebagian besar petambak hanya mengandalkan insting untuk menilai kondisi air.
    Padahal sedikit perubahan pH atau suhu bisa membuat udang stres dan mati massal.
  2. Biaya operasional membengkak.
    Aerator dan pompa dijalankan terus-menerus tanpa kontrol otomatis, sehingga boros listrik dan bahan bakar.
  3. Pakan tidak efisien.
    Pemberian pakan manual sering berlebihan, menyebabkan limbah dan menurunkan kualitas air.
  4. Kegagalan panen tinggi.
    Beberapa laporan menyebut tingkat kematian mencapai 70–80% per siklus di tambak tradisional.

Semua ini membuat petambak kecil seperti terjebak dalam lingkaran ketidakpastian: biaya tinggi, hasil rendah, dan risiko besar.

Harapan Baru dari Teknologi: Ketika Tambak Belajar “Berpikir”

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah universitas, peneliti, dan startup mulai memperkenalkan konsep Internet of Things (IoT) ke dunia budidaya perikanan.
Melalui sensor, data, dan konektivitas, sistem ini memungkinkan tambak udang “berpikir” — memantau dirinya sendiri dan memberi tahu petambak kapan kondisi mulai berbahaya.

Beberapa hasil implementasi di Jawa Timur menunjukkan potensi luar biasa:

  • Sistem pakan otomatis berbasis IoT meningkatkan efisiensi pakan hingga 30%, menekan biaya terbesar dalam budidaya.
  • Sensor IoT mampu memantau pH, suhu, oksigen terlarut (DO), dan amonia secara terus menerus dengan tingkat akurasi di atas 99%.
  • Dengan IoT, petambak bisa mengendalikan aerator otomatis dan mencegah penurunan oksigen fatal di malam hari.

Dan di Pacitan, teknologi ini menemukan pelaku transformasinya — Paundra Noorbaskoro.

Tokoh Perubahan: Paundra Noorbaskoro dari Pacitan

Paundra bukan pengusaha besar. Ia seorang pemuda pesisir yang dulu berkali-kali gagal panen.
Namun, dari setiap kegagalan itu, ia menemukan pola: masalah terbesar tambak bukan pada benur, tapi pada ketidaktahuan terhadap kondisi air.

Pada tahun 2022, ia mulai bereksperimen dengan sensor sederhana.
Dengan bantuan komunitas teknologi lokal dan riset daring, ia membangun sistem pemantauan air menggunakan IoT dan jaringan LoRa (Long Range).
Sensor-sensor itu ia pasang di kolam-kolamnya untuk mengukur pH, suhu, kadar oksigen, dan amonia — data yang sebelumnya tak pernah ia punya.

Kini, dari smartphone-nya, Paundra bisa melihat semua data secara real-time.
Jika oksigen turun, sistem otomatis menyalakan aerator. Jika suhu naik, sistem memberi peringatan dini.
Hasilnya luar biasa: tingkat kematian udang menurun drastis, dan produksi melonjak hingga dua ton per siklus dari lahan seluas satu hektar.

Paundra tidak berhenti di situ. Ia mulai berbagi ilmu kepada petambak lain di Pacitan dan Trenggalek, membentuk jaringan pelatihan berbasis komunitas.
Bagi banyak orang, ia menjadi simbol bahwa teknologi bisa lahir dari desa, bukan hanya dari laboratorium.

Mengapa Paundra Memilih LoRa?

LoRa (Long Range) adalah teknologi komunikasi nirkabel berdaya rendah yang dirancang untuk menghubungkan perangkat sensor di area luas tanpa bergantung pada sinyal internet konvensional.

Di tambak udang, LoRa menawarkan keunggulan penting:

  • Jangkauan hingga 5 km, ideal untuk lahan tambak pesisir yang luas.
  • Konsumsi daya rendah, sensor bisa beroperasi berbulan-bulan dengan baterai kecil.
  • Stabil di area minim sinyal, cocok untuk pesisir Pacitan yang sinyal seluler kadang lemah.
  • Biaya operasional hemat, cukup satu gateway untuk puluhan sensor.

Dengan LoRa, sistem IoT Paundra menjadi efisien, murah, dan tangguh terhadap kondisi alam — faktor yang sangat penting bagi petambak kecil.

Infografis: Alur Sistem IoT Tambak Udang

Alur kerja sistem:

Sensor (pH, Suhu, DO, Amonia) → LoRa Transmitter → Gateway → Cloud Dashboard → Aerator Otomatis

Teknologi ini membuat tambak “hidup” dalam ekosistem digital yang bisa berpikir, memantau, dan merespons — bahkan sebelum manusia turun tangan.

Dampak dan Refleksi

Dari hasil observasi dan pemberitaan, tambak-tambak di Pacitan mulai mengikuti jejak Paundra.
Beberapa bahkan memodifikasi sistemnya untuk menghubungkan IPAL limbah ke sistem pemantauan, memastikan air yang keluar tetap bersih.

Secara ekonomi, penerapan IoT terbukti mengurangi:

  • Biaya listrik dan pakan hingga 20–30%,
  • Tingkat gagal panen turun drastis,
  • Produktivitas meningkat dua kali lipat dibanding sistem konvensional.

Tapi lebih dari sekadar angka, perubahan ini menciptakan rasa percaya diri baru bagi petambak kecil: bahwa mereka juga bisa mengelola teknologi, memahami data, dan berinovasi tanpa meninggalkan tanah kelahirannya.

Penutup: Dari Lumpur ke Teknologi Komputasi Awan

Kisah Paundra Noorbaskoro bukan sekadar cerita sukses seorang petambak.
Ia adalah simbol perubahan cara berpikir — bahwa kemajuan teknologi tidak harus menghapus tradisi, tapi justru memperkuatnya.

Dari tambak berlumpur di Pacitan, lahirlah sebuah sistem yang mampu memadukan air, data, dan tekad manusia menjadi satu kesatuan yang hidup.
Sebuah bukti nyata bahwa masa depan perikanan Indonesia tidak hanya terletak di laut luas, tetapi juga di tangan mereka yang berani berinovasi di tepiannya.

Rujukan
  • KKP Data Produksi Udang Nasional (2017–2023)
  • FAO Fisheries Statistics
  • BRIN IoT Aquaculture Project
  • Universitas Brawijaya, Universitas Wiraraja, Universitas Ahmad Dahlan – riset IoT perikanan
  • Wawancara & Profil Paundra Noorbaskoro, dikutip dari berbagai sumber (2022–2024)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x